Ads Top

Petani Bersatu Desak Jokowi Hentikan Kriminalisasi dan Perampasan Tanah Rakyat

Petani membangun persatuan dan solidaritas tanpa batas

DAULATANI - Pembangunan hanya membawa musibah, proyek-proyek pembangunan itu sebenaranya hanya akal-akalan untuk merampas tanah rakyat. Perampasan tanah senyatanya memang sedang gencar diberlakukan di beberapa wilayah Indonesia, setidaknya ada pola-pola serupa yang dijalankan: intimidasi, represifitas, kriminalisasi serta upaya lain yang jelas-jelas melanggar Hukum.


Atas masifnya perampasan tanah yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini, dapat disimpulkan bahwa pembangunan semakin tidak manusiawi, pada kenyataanya berpotensi menggusur ruang-ruang hidup masyarakat yang menjadi korbanya yang rata rata adalah petani, yang mana mereka sangat bergantung pada tanahnya. Selain daripada ruang hidup yang memberi nilai ekonomi, namun juga ruang hidup dari nilai sejarah, sosial, budaya dan lain sebagainya yang turut termusnahkan oleh dampak pembangunan yang tak lagi manusiawi.


Merespon penindasan ini, petani mengkonsolidasikan perlawanannya. Perwakilan kelompok tani dari beberapa wilayah konflik agraria seperti Wahana Tri Tunggal (WTT) Kulonprogo Jogja, Perkumpulan Petani Surokonto Wetan (PPSW) Kendal, Serikat Tani Kubu Raya (SKTR) Kalimantan Barat, Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPTB) dan Organisasi Petani Perempuan Wongsorejo Banyuwangi (OP2WB) berkumpul di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Mereka melakukan pernyataan sikap bersama atas perampasan tanah yang terjadi di desanya masing-masing juga di seluruh Indonesia.


Tercatat, para petani juga membuat pernyataan sikap bersama dan ditandatangani masing-masing perwakilan kelompok tani untuk dikirim kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di dalam siaran pers yang dirilis oleh persatuan Tani ini memapaparkan bahwa pembangunan yang dilakukan secara masif di Indonesia saat ini kenyataannya tidak manusiawi. Mereka menolak kejahatan pembangunan bandara internasional Yogyakarta dan perampasan tanah petani di desa Surokonto Wetan.


Martono dari WTT menceritakan bahwa rencana pembangunan bandara telah mengancam sejarah kehidupan desanya.


“Kami sudah turun temurun di sini. Ada sejarah desa kami baik dari peninggalan sebelum masehi sampai sekarang. Ada bukti prasasti dan sebagainya.”


Ancaman terhadap nilai-nilai sejarah yang telah dibangun juga dipaparkan oleh Hasan Bisri dari (Perkumpulan Petani Surokonto Wetan (PPSW). Ia mengatakan bahwa sejak dulu Petani Surokonto Wetan hidup dari lahan pertanian yang mereka garap secara turun temurun.


“Lihatlah makam leluhur kami di tanah ini sebagai bukti sejarah bahwa kami sudah puluhan tahun mengelola tanah ini,” kata Hasan Bisri bertestimoni.


Dengan persatuan kelompok-kelompok Tani ini kemudian mereka menuntut presiden Jokowi untuk:

1. Menghentikan perampasan tanah di seluruh wilayah Indonesia.
2. Menghentikan represifitas terhadap petani.
3. Menghentikan kriminalisasi terhadap petani Surokonto Wetan dan petani Kubu Raya Kalimantan Barat.
4. Membatalkan pembangunan bandara internasional Kulonprogo.
5. Menghentikan proses pengadaan tanah di kecamatan Temon Kulonprogo sekarang juga.
6. Membatalkan penetapan kawasan hutan Surokonto Wetan.
7. Menghentikan sengketa tanah di Wongsorejo.
8. Melaksanakan putusan MA dan menarik semua aparat dari Kubu Raya.
9. Laksanakan reforma agraria.


Terkait pernyataan sikap bersama ini Bara Pratama dari SKTR berharap kaum tani terus membangun silaturahmi dan kekuatan bersama untuk melawan segala bentuk perampasan tanah yang terjadi di Indonesia. Ia berharap kaum tani membangun solidaritas yang seluas-luasnya dengan unsur rakyat tertindas lainnya.


"Selain itu, kami dari SKTR juga mendukung penuh perjuangan kaum tani di Indonesia yang menuntut haknya atas tanah,” paparnya.


Hal yang sama juga diungkapkan oleh Nurkholis dari OP2WB yang mengungkapkan kepada setiap kelompok tani untuk dapat menemani mereka memperjuangkan hak-haknya sebagai petani, agar mereka tidak dianiaya oleh pemerintah dengan alasan industrialisasi.


“Intinya, petani hanya mau hidup tenang dan damai. Sampai anak cucu kami,” tegasnya.


Ia pun berharap acara tersebut bisa menjadi bagian dari perjuangan kaum tani. Serta, acara tersebut dapat menyebarluaskan penindasan yang dialami kaum tani yang terjadi di daerahnya dan juga daerah-daerah lainnya.


Mengomentari pertemuan antar kelompok tani yang berlangsung, Hamzal Wahyudi, Direktur LBH Yogyakarta mengatakan bahwa acara tersebut adalah momentum untuk menyatukan gerakan rakyat di Indonesia.


“Momentum rakyat sebagai korban yang digusur dari lahan pertaniannya dan akan dialihfungsikan untuk pembangunan rezim Jokowi.”


Hamzal juga mengomentari pembangunan di masa pemerintahan Presiden Jokowi yang tidak partisipatif. Hal ini mengacu pada banyaknya penolakan yang terjadi terhadap rencana pembangunan yang dicanangkan di Indonesia.


Terkait pembangunan menurut Hamzal ada dua aspek yang perlu diperhatikan oleh pemerintah yakni pertama adalah daya dukung. Artinya setiap pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah harus diterima oleh masyarakat. Jangan sampai masyarakat tidak diberikan ruang partisipasi.


“Jika sampai (rakyat-red) tak diberikan tempat untuk bisa berpartisipasi artinya kita kembali ke zaman Soeharto. Tidak partisipatif dan otoriter,” tegas Hamzal.


Kedua adalah daya tampung. Menurutnya pemerintah harusnya bisa melihat apakah ketika akan melakukan pembangunan di suatu lokasi, akan menggusur ruang hidup masyarakat atau tidak.


“Apakah ketika melakukan perencanaan pembangunan ada sumber penghidupan warga atau tidak. Apakah pemerintah melihat jika di lokasi pembangunan sudah ada pemukimannya atau belum. Itu juga harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah ketika berbicara soal rencana pembangunan nasional,” papar Hamzal.


Terakhir Hamzal juga menyampaikan bahwa pertemuan ini menjadi pesan kepada Presiden Jokowi bahwa di Yogyakarta sudah ada pertemuan organisasi besar di Indonesia yang ingin menyampaikan keluh kesahnya.

No comments: