Ads Top

Petani Surokonto Wetan dan Sengketa Negara

Konflik Agraria di Jawah Tengah

Sebuah Prolog oleh Okty Budiati 

Desa Surokonto Wetan, sebuah lembah di pegunungan daerah Weleri, Kendal, Jawa Tengah berasal dari keturunan Kanjeng Pangeran Harya Purubaya IV (Raden Mas Timur atau Pangeran Tumenggung Mataram) dalam silsilah ke tujuh Keraton Yogyakarta bernama R. Joko Suro (Syeh Jakariya) (*1). Hingga kini makam R. Joko Suro masih dirawat oleh warga sebagai wujud syukur atas perjuangannya membangun jalan pengairan sawah pada jaman itu.


Lembah yang kini masih dihuni warga sebagai sumber penghidupan sehari-hari, tepat di antara tahun 2012-2013, menjadi petaka bagi mereka. Ladang jagung yang telah puluhan tahun menopang kebutuhan sehari-hari dari kebutuhan beraktivitas hingga perawatan beberapa gedung, salah satunya gedung sekolah telah dijadikan tukar guling oleh PT. Semen Indonesia melalui PT. Perhutani. “Bagaimana kebijakan agraria melihat lahan penghidupan warga menjadi barter ekonomi industri?” Pada 23 Desember 1952 menurut catatan hukum, tanah yang dijadikan tukar guling ini dikelola oleh NV Rotterdamsche Culture Maatschapij dan NV. Cuultuur Maatshapij dengan akte jual beli nomor 45 tanggal 23 Desember 1952 di depan notaries Rm Suprapto yang disahkan menteri Kehakiman RI no. JA5/40/5 dengan pihak yang bernama NV Skhecher dimana sah menjadi Tanah Negara dan hak miliknya tidak bisa diperjualbelikan. Namun di tahun 1956, Badan Rekonstruksi Nasional (BRN) menyerahkan pengelolaan lahan ini kepada Komuved Tingkat I Provinsi Jawa Tengah menjadi “Credit Bedrij” hingga kemunculan Badan hukum NV Sekecer Wringin Sari yang dibentuk oleh pribadi-pribadi atas nama veteran pada tanggal 20 April 1956 dengan akte jual beli nomor 54 di depan notaries RM Suprapto. Hingga akhirnya NV Sekecer Wringin Sari disahkan Menteri Kehakiman RI no. JA5/40/5 di Jakarta pada 11 Juni 1956, dan pada 3 Juli 1956 terdaftar di Pengadilan Negeri Semarang sesuai nomor 172. Pada 28 Desember 1956, di Pengadilan Negeri Semarang diumumkan dalam Berita Negara dengan nomor 104 sebagai tambahan berita nomor 1379. Pada 17 November 1965, di Jakarta, NV Sekecer Wringin Sari dinyatakan terlibat Gerakan 30 September (G30S). Maka berdasarkan pada SK Menteri Perkebunan Nomor 160/MEN PERK/65 tanggal 17 November 1965 diinstruksikan kepada semua kepala inspektorat di seluruh Indonesia untuk menguasai manajemen perkebunan milik swasta dan koperasi daerah yang dianggap terlibat G30S.


Masih di Jakarta, 26 November 1965, SK Menteri Perkebunan ini diperkuat oleh SK Task Force Siap Siaga nomor 48/TF/SS/65 tanggal 26 November 1965 tentang pedoman / ketentuan untuk menguasai manjemen perkebunan milik swasta, koperasi dan daerah yang pemilik / direksi / pengurus / karyawan terlibat G30S/PKI atau menjadi anggota organisasi PKI / di bawah naungan PKI, serta membantu secara finansial / materil / moril kepada G30S/PKI. Melalui Comuved Jateng, di Semarang pada tanggal 3 Maret 1966, penyerahan Pengelolaan Lahan NV Sekecer Wringin Sari kepada Komuved Jateng didasarkan pada SK Pangdam VII/Diponegoro nomor Kep/PPD-0032/3/1966. Pengelolaan ini diperkuat oleh 2 keputusan tersebut, Pangdam VII/Diponegoro selaku Peperda Jateng dan DIY juga mengeluarkan SK No. Kep-PPD/00102/7/1966 tanggal 22 Juli 1966 tentang Pembekuan dan Penyitaan Hak Milik Pengelolaan Lahan NV Sekecer Wringin Sari yang kemudian pengelolaan diserahkan kepada Comuvet Jateng, pada 22 Juli 1966 melalui Komuved Jateng, Pangdam VII/Diponegoro, NV Sekecer Wringin Sari, di Semarang.


Hingga pada 11 Agustus 1966 oleh PT Sumurpitu Wringin Sari, Yayasan Rumpun Diponegoro, didirikan PT Sumurpitu Wringin Sari yang merupakan perusahaan dibawah naungan Yayasan Rumpun Diponegoro (Kodam IV/Diponegoro) berdasarkan akte Notaris RM Suprapto no. 26, dan pada 10 Juli 1967 oleh Komuvet Jateng, pendirian perusahaan tersebut dibawah Akte Notaris, Komuvet provinsi Jawa Tengah berfungsi sebagai pengelolaan perkebunan. Masih di Semarang, pada 9 November 1970 melalui Menteri Kehakiman pengelolaan perkebunan tersebut disahkan dengan SK nomor JA5/118/3. Pada 12 November 1970, di Pengadilan Negeri Kendal keabsahannya tercatat di Pengadilan Negeri Kendal Panitera dengan nomor 12/1970 dan dimuat dalam Berita Negara RI nomor 32, pada 20 April 1971. Pada 13 Oktober 1972, di Kendal, PT Sumurpitu Wringin Sari mengajukan HGU kepada Depdagri Cq. Agraria. Pengajuan ini dikabulkan dengan diterbitkannya keputusan Menteri Dalam Negeri/Dirjen Agraria nomor SK.16/HGU/DA72. Hak Guna Usaha (HGU) ini berlaku sampai 31 Desember 1997 (25 tahun) dengan status tanah sebagai tanah negara di mana PT Sumurpitu Wringin Sari dinyatakan memiliki hak pengelolaan bukan menguasai tanah perkebunan. Pada 31 Maret 1998, di Jakarta, Mendagri, BPN, PT Sumurpitu Wringin Sari telah mengajukan perpanjangan HGU dengan nomor DIR.K.029.A/SE/III/1998 kepada Mendagri/BPN tentang perpanjangan HGU PT Sumurpitu Wringin Sari. Pada 20 Februari 1999, di Semarang, pengajuan perpanjangan HGU dikabulkan dengan SK Kakanwil BPN Provinsi Jateng dengan nomor SK/540.2/005/7/504/33/1999. Berlaku hingga 31 Desember 2022 (25 tahun) dengan Status kepemilikan lahan masih ada pada Negara bukan pada PT. Sumurpitu Wringin Sari. Di tanggal 12 Maret 2012, Kendal, PT. Sumurpitu Wringin Sari mengeluarkan surat Penawaran Bersama penjualan saham PT Sumurpitu Wringin Sari yang isinya mengenai penjualan saham berupa lahan perkebunan seluas kurang lebih 610 hektar yang dikelola oleh PT Sumurpitu Wringin Sari di wilayah desa Surokonto Wetan. Dijual dengan standar ukur berupa tanah yang justru dalam jual beli saham. Saham dijual dalam ukuran nilai rupiah tertentu dengan ukuran luas per meter persegi sebesar 20.000 Rupiah. Bila dikalkulasi, total harga keseluruhan berarti Rp 20.000 x 610 = Rp. 122.000.000.000 (122 Milyar). Hingga pada tahun 2013, oleh PT. Semen Indonesia dikatakan membali saham dengan ukuran luas tanah permeter persegi tersebut dengan luasan 400 hektar dengan harga Rp. 75 Milyar. Hingga di tanggal 25 September 2013, PT Semen Indonesia dan Menteri Kehutanan menyatakan tanah pada luasan 125,53 hektar telah ditunjuk sebagai lahan pengganti dalam rangka tukar menukar kawasan hutan atas nama PT Semen Indonesia (SI) melalui keputusan Menteri Kehutanan nomor SK 643/MENHUT/II/2013. Pada tahun 2014, Menteri Kehutanan RI mengeluarkan keputusan Nomor SK 3021/MENHUT/VII/KUH-2014 tentang Penetapan sebagian Kawasan Hutan Produksi pada bagian hutan Kalibodri seluas 127,821 hektar di Kabupaten Kendal, provinsi Jawa Tengah.


Dari catatan arsip di atas, apakah semudah itu sebuah badan pengesahan hukum untuk hak guna warga dialihkan? Selain itu, apakah benar Gerakan 30 September, PKI menjadi dalang gerakan kudeta yang diarahkan kepada Presiden RI pertama (Ir. Soekarno)? Kita semua tahu, G30S merupakan gerakan pemancangan sistem kapital melalui program militer di kancah kebudayaan dengan jaminan Papua Barat. Bahwa kenyataannya, sejarah 65-66 belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat secara merata, saya pikir ini menjadi pekerjaan besar bagi negara, sehingga keabsahan hukum pengadilan dan hukum agraria diurai satu per satu. Namun tulisan ini tidak berhenti hanya pada persoalan hukum pengadilan dan hukum agraria. Hal yang tampak konyol dengan penangkapan Petani Surokonto Wetan yang telah dikriminalisasikan dengan tuntutan 8 tahun penjara dengan denda 10 milyar bagi masing-masing petani atau subsider enam bulan penjara di tahun 2016 dengan dakwaan telah melanggar pasal 94 ayat 1 huruf a UU RI No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Melalui beberapa persidangan yang telah dijalani oleh ketiga petani hingga di tahun 2017, akhirnya keputusan tuntutan turun menjadi 3 tahun masa tahanan (Pak Nur Azis), dan 2 tahun masa tahanan (Pak Sutrisno Rusmin) dengan denda 10 milyar bagi masing-masing petani atau subsider enam bulan penjara. Kondisi keduanya saat ini telah berada di dalam penjara per tanggal 30 Maret 2017, mereka mengalami penahanan paksa yang dilakukan aparat dihadapan anak-anak dan istri sepulang dari LBH Semarang. Tidakkah konyol seorang petani dikenakan denda 10 milyar sedangkan para koruptor belum tentu sebanyak itu, dan bahwa kenyataannya para petani tersebut merupakan buruh tani. Belum lagi, penurunan masa tahanan menjadi 3 tahun dan 2 tahun. Bentuk penurunan masa tahanan yang cukup jauh dibanding dengan 8 tahun.


Atas dasar apakah hukum pengadilan memutuskan masa tahanan seorang dapat turun sebanyak itu namun tetap dikenai denda 10 milyar per orang.Denda 10 milyar untuk petani bukanlah nilai denda  yang dapat disepelekan untuk sebuah kasus dalam kebijakan pengadilan itu sendiri. Selain itu di mana letak etika sosial aparatur negara yang menangkap paksa para petani dihadapan anak-anak yang usianya masih di bawah umur? Mungkin seorang wanita, katakanlah istri, mampu menjadi tegar saat berhadapan dengan peristiwa tersebut, namun saat kejadian itu dialami bersama anak-anak mereka, tentu ini menjadi beban psikologi sendiri yang merupakan sikap anarki aparat dalam melancarkan upaya teror psikologi bagi perempuan (istri) dan anak. Saya pikir semboyan tentang tentara sebagai pembela dan penjaga warga negara telah dihancurkan oleh sikap mereka sendiri yang dilakukannya sudah sejak lama, dan berulang. “Apakah para aparat ini memiliki istri dan anak? ” Banyak hal yang sebenarnya dipertanyakan atas nasib petani Surokonto Wetan, khususnya mengapa harus terjadi penahanan, salah satu bentuk kekonyolan lain dari gerakan ekonomi industri, katakan dunia materialis. Namun akhirnya saya mendapati bahwa sosok Nur Aziz merupakan tokoh di tengah masyarakat dalam memberikan dakwah keagamaan. Nur Aziz tidak lain adalah seorang Tanfidziah (bagian dakwah) dari Nahdatul Ulama (NU) untuk warga sekitar. Selain itu, Nur Aziz sendiri banyak melakukan kegiatan pemberdayaan serta membantu warga dalam urusan keseharian dalam hal pendidikan, kesehatan, hingga pengurusan keadministrasian bagi warga desa Surokonto Wetan.


Pada poin ini, jelas bahwa Nur Aziz merupakan korban politik melalui tekanan hukum pengadilan, hukum agraria, hingga kekerasan atas institusi agama yang kini sedang terjadi di negara ini. Belum lagi, paska penahanan paksa ini, desa Surokonto Wetan mengalami teror dari kedatangan aparat negara berjumlah 400 orang (pasukan tentara), perusahaan yang menduduki ladang jagung mereka, hingga beredarnya isu teror penangkapan kembali (susulan) untuk 8 orang petani Surokonto Wetan. Nasib petani Surokonto Wetan, juga warganya bukanlah urusan sederhana, saat mereka berusaha memperjuangkan keadilan dan kebenaran, mereka harus mengalami intimidasi pengkerdilan kejadian. Bahwa perjuangan atas perampasan hak hidup dan penghidupan (aset dalam kehidupan) di negeri ini dapat dan semustinya dilakukan dalam kesadaran dan kebersamaan. Kekerasan budaya dengan mind blocked dan teror hingga kini masih menjadi budaya, dan tentunya hal tersebut berkaitan erat dengan sejarah, agama, pendidikan, dan hukum yang melingkupinya. “Sekumpulan masyarakat tidak hanya terdiri dari individu-individu namun saling berterkaitan dalam mengungkapkan hubungan di mana individu-individu ini berdiri” (Karl Marx).


 Jakarta, 14 Mei 2017 Penulis adalah seorang penari/performer 

Catatan:
- (*1) arsip perpustakaan keraton
- ditulis berdasarkan arsip PPSW (Perkumpulan Petani Surokonto Wetan)
- hasil selama tinggal di Surokonto Wetan pada Desember 2016
- buku Wijaya Herlambang berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965

1 comment: