Ads Top

Reforma Agraria Keniscayaan Pewujudan Keadilan Sosial



DAULATANI-Indonesia dilaporkan independen.co.uk menjadi negara nomor empat tertinggi kesenjangan ekonomi setelah Thailand, India dan Rusia. Faktanya tercatat 10 orang di Indonesia menguasai asset hingga 70% di Indonesia. Kondisi ini yang menjadi satu alasan agenda reforma agraria pemerintahan Jokowi-JK. Dikatakan Presiden Jokowi bahwa reforma agraria harus menjadi cara baru bukan saja untuk menyelesaikan sengketa agraria antara perusahaan dengan masyarakat atau masyarakat dengan negara, tapi juga cara baru mengatasi kemiskinan dan mengatasi ketimpangan sosial ekonomi, khususnya di pedesaan.
Halaqoh Agraria bagi kiai muda yang dilaksanakan Sabtu, 6 Januari 2018 di Ponpes Bani Umar Al Karim Kaliwungu Kendal dimaksudkan untuk mensosialisasikan hasil Munas Alim Ulama NU di Lombok tahun 2017 lalu, sekaligus mengkaji lebih nyata bagaimana reforma agraria dapat dilaksanakan. Hadir menjadi keynote speaker KH. Yahya C. Tsaquf, Katib Am Syuriah PBNU. Sedangkan tiga pembicara KH. Abdul Majid, Ketua Tanfidziyah PCNU Kab. Kendal; Dr. Tri Chandra Aprianto, Satuan Kerja Reforma Agraria KSP dan KH. Moh. Imam Aziz, Ketua Tanfidziyah PBNU.

Kiai Yahya dalam paparannya menegaskan tugas utama NU untuk menjadi wahana konsolidasi aspirasi rakyat bagi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa yang harus dilakukan negara harus disuarakan NU, karena NU hampir separo Indonesia. Cacah jiwa rakyat Indonesia yang berafiliasi kepada NU hampir 90 juta. Hajat 90 juta rakyat itu tanggungjawab negara. Bodoh-miskinnya itu bukan tanggungjawab NU, tetapi negara. NU bertugas menjadi konsolidator aspirasi rakyat agar dipenuhi negara, demi keadilan sosial dan ekonomi.

Realitasnya Indonesia hari ini sangat timpang dalam distribusi sumber daya alam. Artinya ada ketidakadilan sosial dalam berbangsa dan bernegara saat ini. Ketimpangan kepemilikan atas sumber agrarian itu terjadi justru dari kebijakan pemerintah itu sendiri. Kata lain, negara mendorong dan melanggengkan ketimpangan sosial itu. Hal ini dikonfirmasi oleh Joseph S. Stiglitz, penerima nobel ekonomi tahun 2001 dari Amerika Serikat, sebagaimana dikutip Kiai Yahya.
Sementara Kiai Imam memulai paparan dari sejarah reforma agraria di Indonesia. Di Indonesia umumnya dan khususnya bagi orang NU, kata agraria memiliki stigma yang dalam. Reforma agraria dulu dikenang dengan istilah land reform dengan obyek tanah-tanah pribadi. Hari ini reforma agraria dihidupkan lagi oleh Presiden Jokowi dengan program redistribusi atas tanah lahan negara dan perhutani sosial. Bagi saya soal sumber agraria ini penting karena berhubungan erat dengan upaya mengurangan ketimpangan ekonomi dan penciptaan keadilan sosial. Bagaimana mungkin 10 orang menguasai 70% asset agrarian kita?, ungkap Kiai Imam. Kemiskinan menjadi akut karena negara gagal mengatur sumber agrarian itu.

Kaitan hal ini, Munas Alim Ulama NU di Lombok tahun 2017, menawarkan 4 langkah. Pertama, menarik kembali tanah lahan yang berlebihan diberikan ke pihak-pihak tertentu. Kedua, menarik lagi tanah HGU yang tidak digunakan dan dikelola secara benar. Ketiga, membatasi waktu dan jumlah tanah lahan yang dikuasai. Bagaimana hak penguasaan bisa sampai 90 tahun? Keempat, mendistribusikan tanah lahan yang dikuasai negara yang tidak lagi produktif untuk rakyat miskin untuk dimiliki maupun untuk digunakan sebagai basis usaha.
Empat tawaran NU ini menguatkan program redistribusi tanah lahan dan perhutanan sosial yang dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK. Namun demikian, realitasnya ketimpangan sosial dan ekonomi ini masalah besar yang dihadapi Indonesia hari ini. Bangsa Indonesia memerlukan semangat bersama untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia dengan membangun konsensus konsensus yang lebih memihak dan menjamin keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakayat Indonesia dan mencegah proses ketimpagan akibat privatisasi dan liberalisasi ekonomi.

Dr. Tri Chandra Aprianto, Satuan Kerja Reforma Agraria KSP, menyatakan bahwa reforma agraria bukan hanya sebatas redistribusi tanah. Tetapi sebuah konsep pembangunan nasional. Banyak negara di dunia menggunakan konsep reforma agraria untuk membangun ekonomi nasionalnya. Makanya yang perlu dipikirkan adalah konsepsi ekonomi apa yang harus dipikirkan setelah reforma agraria dilaksanakan dan konteks Indonesia, bagaimana desa terlibat di dalamnya. Karena ini Presiden Jokowi melalui Menteri KLHK sudah menyusun program reforma agraria, termasuk mendiskusikan hal ini dengan PBNU. Distribusi tanah lahan bagi petani miskin itu juga dipikirkan bagaimana penguasaan lahannya, yakni khususnya petani miskin yang tidak punya lahan, tata penguasaannya, tata guna penguasaan terkait jenis usaha dan bagaimana pasar yang perlu disiapkan.
Kiai Yahya menyebutkan bahwa kasus yang menimpa Kiai Aziz, Rais Syuriah Ranting NU Surokontowetan Kendal, tidak bisa dipisahkan dari kasus-kasus konflik sumber agraria pertarungan negara vs rakyat. Secara prosedural seolah olah kasus-kasus itu selesai secara hukum. Tetapi kenyataanya menjauh dari rasa keadilan terhadap pribadi maupun petani Surkonto. Hukum menjadi tidak sebanding dengan keadilan sosial.

Kasus Surokonto saya meyakini ini tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan persoalan tambang semen di pegunungan Kendeng utara. Terkesan dipaksakan oleh pemerintah dengan BUMN tertentu dan sejumlah perusahan swasta besar bahkan perusahaan asing, ungkap Kiai Yahya. Ujungnya, petani menjadi korban dari praktik yang seolah olah lagal, tetapi mengandung kecurangan yang tidak adil dan merugikan petani. Dalam kasus Kendeng misalnya, ada kecurangan dalam Amdal, ijin curang, atau tiba-tiba menteri mengubah status lahan. Seperti yang terjadi di Surokonto, Banyuwangi, Sumatera Utara dan lainnya di mana petani bertahun-tahun menjadi penggarap tanah tiba-tiba dipinggirkan dan tiada jaminan pengakuan, hukum dan political will dari pemerintah untuk membela mereka. Artinya dengan semangat Presiden Jokowi untuk redistribusi, maka seharusnya kriminalisasi petani harus dihapuskan dan Kiai Aziz dan petani lainnya dibebaskan.
Konteks makro di atas, NU punya peran besar sebagai wahana konsolidasi aspirasi rakyat agar kebijakan negara berubah, sejalan amanat Muktamar Situbondo tahun 1984. NU harus independen. Soal kompetisi kekuasan politik hanyalah urusan taktis. Karena kesetiaan NU hanya pada rakyat. Karena itu NU pasti akan sejalan dengan mereka yang berjuang menghapuskan ketimpangan ekonomi dan mewujudkan keadilan, tegas Kiai Yahya.

Penulis berita: Saiful Huda Shodiq, 08112794345, saifulsyarikat@yahoo.co.id

http://www.nu.or.id/post/read/85026/untuk-keadilan-sosial-dan-ekonomi-gus-yahya-sebut-tugas-utama-nu

No comments: