Ads Top

Pembiasan Nalar Hukum dan (Keadilan) dalam Penetapan Tersangka Petani SurokontoWetan Kabupaten Kendal

DAULATANI-Pembiasan Nalar Hukum dan (Keadilan?) dalam Penetapan Tersangka Petani SurokontoWetan Kabupaten Kendal.

Oleh: Setya Indra Arifin (20 Augustus 2016)

Sudah melewati 3 (tiga) bulan lamanya sejak penetapan status tersangka terhadap 3 (tiga) orang petani Surokonto Wetan Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal (sejak 3 Mei 2016) yang dijerat pasal berlapis atas tuduhan/dugaan:
(1) tindak pidana orang perseorangan yang dengan sengaja menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan atau menggunakan kawasan hutan secara tidak sah  dan
(2) melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah,
   Sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a dan b Jo Pasal 19 huruf a, c UU RI No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H) yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resor Kendal. Perlu diketahui bahwa proses yang masih berjalan tersebut telah sampai kepada tahap pelimpahan perkara dari Kepolisian ke Kejaksaan Negeri Kendal dan segera akan disidangkan di muka majelis hakim dalam pemeriksaan perkara di pengadilan di waktu dekat.

Sampai sejauh ini, sikap dan tanggapan para tersangka, baik Nur Aziz, Mujiyono maupun Sutrisno Rusmin sangatlah kooperatif terhadap proses pemeriksaan yang sudah berjalan di tahap penyidikan. Tiap Senin dan Kamis, ketiganya senantiasa rajin dalam menunaikan kewajiban mereka untuk lapor diri ke Polres Kendal. Dari fakta ini menunjukkan bahwa orang-orang yang kabarnya menjadi korban kriminalisasi tersebut sangat menghormati proses hukum di negeri mereka. Tak ada sedikitpun niat jahat yang terbesit di benak mereka untuk kabur dari proses pemeriksaan. Apalagi sampai hendak melakukan hal-hal yang menyimpang dari nalar mereka tentang kebaikan dan budi luhur, sangat jauh kemungkinan itu sampai muncul ke permukaan kalaupun pada dasarnya, siapapun yang berada pada posisi ketiganya akan mudah terpancing dan tersulut amarahnya hingga bisa mengakibatkan pada munculnya pikiran-pikiran kacau dan liar di luar akal sehatnya.

Kalaulah sampai detik ini mereka yang dimarjinalkan itu memang menanggapi segala sesuatunya dengan arif dan bijak, akankah demikian halnya pada posisi para aparat penegak hukum yang sedang berusaha melakukan pemidanaan terhadap ketiganya? Meski di sisi lain, siapa sebenarnya mereka bertiga itu dan berada pada posisi apa mereka pada saat ini menjadi tidaklah penting lagi ketika apa yang diyakini dan diwujudkannya dalam perbuatan nyata merupakan bagian dari sebuah hikmah kebijaksanaan. Bukankah demikian agama mengajarkan kita dalam hal penerimaan terhadap nilai-nilai luhur tanpa memandang dari mana asalnya nilai-nilai itu datang? Hanya saja untuk sesaat, pada momen dan kesempatan ini, saya akan mengajak para pembaca semua ke dalam suatu nalar lain yang hadirnya bukan dari sisi agama, sebab nalar ini bagaimanapun datang dari sesuatu yang sekuler adanya.

Namun Saudara tentu tidak usah khawatir dengan penggunaan nalar yang sekuler sifatnya ini. Dengan tanpa perlu meninggalkan koridor kebijaksanaan, kita akan mencoba secara seksama melihat apakah penggunaan nalar ini telah diterapkan sebagaimana mestinya oleh para penegak hukum, ataukah justru berlainan sehingga yang terjadi justru bukanlah nalar yang benar melainkan bias sifatnya. Ataukah pada dasarnya kita tidak perlu lagi bertanya-tanya bahkan khawatir akan kemungkinan yang kedua bila kenyataan yang terjadi hari ini, penggunaan nalar tersebut bahkan telah sampai pada proses pembiasan? Pada taraf inilah mengapa kita—sebagaimana yang saya singgung sebelumnya—sebetulnya tidak perlu khawatir karena dengan demikian, pada dasarnya mereka yang menggunakan nalar ini secara sadar sebetulnya sudah paham betul bagaimana menerapkan nalar hukum secara benar, namun dengan sengaja melakukan pembiasan. Barangkali kita bahkan sudah terlalu biasa, dan untuk itu memang sudah menjadi barang yang lazim sifatnya bila mengetahui hal-hal semacam ini di hadapan kita. Hanya saja, haruskah yang begini mau terus dianggapi sebagai sesuatu yang lazim?

Sebagaimana yang kebanyakan manusia Indonesia hari ini senantiasa yakini bahwa hukum dan keadilan selalu diandaikan berada pada letak yang berhimpitan, khusus untuk paragraf ini saya gunakan hanya untuk sekedar klarifikasi sebelum lebih jauh lagi daripada ini, sebelum saya pribadi dihujani atribut kiri, jahanam, atheis dan lain seperangkatnya, penggunaan nalar hukum dalam tulisan ini sepenuhnya tidak hendak menjauhkan para pembaca dari nilai-nilai agama. Sehingga dengan tegas pula saya nyatakan, saya juga bukan PKI, Saudara sekalian. Saya tidak lebih dari seorang pengangguran yang punya surplus waktu sedikit lebih banyak untuk menuliskan semua ini ketimbang barangkali, para penegak hukum yang harusnya lebih tahu nalar hukum tetapi mungkin saja kehabisan waktu hanya untuk terus-terusan mencari cara supaya bisa menjebloskan para tersangka ini ke jeruji besi.

Baiklah, Saudara. Layaknya sebuah tulisan yang biasa disampaikan dalam forum akademik, saya akan memulai titik di mana tulisan ini secara sebagian besar hendak disoroti. Apa sebetulnya nalar hukum yang saya maksud dalam tulisan ini adalah mengenai proses berpikir dan mencari kemungkinan yang relevan untuk bagaimana menentukan suatu peristiwa biasa (yang biasanya kita sebut sebagai fakta sosial) menjadi sebuah peristiwa hukum (fakta hukum) sehingga memunculkan kewenangan bagi para penegak hukum untuk bertindak menghadapi, mengatasi ataupun menanggulangi peristiwa tersebut untuk kemudian diselesaikannya secara hukum pula. Dalam kasus di Surokonto Wetan Kendal, akan menjadi sulit untuk menentukan variabelnya memang, karena kenyataan yang terjadi di lapangan sangatlah sulit untuk mengidentifikasi hal-hal mana yang pantas dan tidak pantas, sesuai atau tidak sesuai jika ditanggapi dengan kacamata hitam hukum. Kesulitan ini menjadi muncul karena ternyata, para pihak yang berinteraksi dalam kasus tersebut, bisa dibilang sangatlah kompleks. Mulai dari para petani penggarap lahan, Perhutani, Semen Indonesia, Sumur Pitu, aparat TNI, ormas keagamaan seperti NU, hingga mereka yang menjadi bagian dari sistem penegakan hukum di wilayah tersebut, termasuk dalam hal ini para pemangku kebijakan yang pada dirinya dilekati wewenang untuk melakukan tindakan yang diperlukan. Belum lagi jika kita mendengar ungkapan bahwa di negeri ini semua orang memainkan perannya masing-masing, maka pertanyaan berikutnya lalu, permainan apa memangnya yang sedang dimainkan oleh para pemain itu? Hal-hal semacam inilah yang bisa saja membuat kasus ini semakin tambah rumit.

Uraian yang terakhir bukan dalam rangka menyeret permasalahan ini menjadi benang kusut yang di dalamnya banyak pihak berjubel ikut terjebak. Bukan pula bermaksud melebar dari pokok persoalan yang akan coba disoroti dalam tulisan ini. Hanya saja, perlu pada saat ini kita semua sadari bahwa proses penentuan fakta sosial menjadi fakta hukum, tentu tidak akan terlepas-pisah dari suasana-suasana konflik kepentingan sebagaimana tercermin dalam keterlibatan para pihak dalam sebuah kasus atau peristiwa tertentu apapun, termasuk contoh yang telah disebutkan di atas, di mana dalam satu lubang kecil, terdapat tujuh hingga sembilan jari terjempit dan susah keluar.

Sekarang, saya akan mengacu pada pendapat Shidarta mengenai langkah-langkah dalam aktifitas penalaran hukum. Menurutnya, terdapat 6 (enam) langkah penting dalam melakukan penalaran hukum, yaitu:
(1) mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini sebagai kasus yang riil terjadi.
(2) menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term).
(3) menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren.
(4) menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus.
(5) mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin.  dan
(6) menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir[3]. Sebelum sampai kepada pembacaan terhadap penerapan nalar hukum melalui perangkat teoritis ini, ada baiknya bila saya cantumkan kutipan yang bisa menggugah pada pembaca untuk berpikir lebih mendalam terkait suatu proses penalaran hukum. Shidarta lagi-lagi, pernah mengemukakan bahwa:

“Dalam proses heuristika hukum terkandung bahaya yang terjadi karena aparat
 penegak hukum tidak sekadar merekonstruksi fakta melainkan juga mengkonstruksinya
 mengikuti apa yang terlanjur diyakini. Fakta memang harus dicari, tetapi pencarian ini
 kerap gagal dan berujung pada skenario rekaan. Katakanlah polisi dan hakim telah
 mendengar semua pihak yang terlibat dalam suatu perkara pidana, tetapi mana
 keterangan yang akan diambil atau ditonjolkan, sangat bergantung pada preferensi yang
 dimiliki aparat tersebut.”

Bahaya yang dimaksud oleh Shidarta agaknya merupakan potensi yang dapat terjadi pada proses penegakan hukum di manapun. Sebab, hal ini juga sangat diperngaruhi oleh adanya kapasitas (=berpikir dan juga latar belakang) dan titik berdiri (legal standing) masing-masing penalar. Tentu penalar yang berasal dari aparat penegak hukum di suatu tempat akan serupa dengan penegak hukum di tempat lainnya meski prosesnya yang spesifik tentu akan menimbulkan perbedaan dalam penerapannya. Maka kemungkinan terjadinya pembiasan dalam nalar hukum yang dipakai oleh aparat kepolisian untuk kasus di Surokonto Wetan sangat mungkin terjadi. Tentu tidak dapat juga kemudian kita terburu-buru menjustifikasi persoalan ini untuk kasus dalam tulisan ini. Sebagaimana Nur Aziz, salah satu tersangka dalam kasus di Surokonto Wetan, yang juga seorang Kyai di desa setempat selalu sampaikan pada warga di sekitarnya agar senantiasa berbaik sangka dan tetap optimis bahwa di luar sana akan selalu ada aparat penegak hukum yang jujur dan menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Pertanyaannya, di luar sana itu, di mana? Sementara kita jawab saja “Entah di mana”, dan mudah-mudahan sosok itu ada di sekitar aparat penegak hukum yang telah, sedang dan hendak menangani kasus ini.

Kembali kepada langkah-langkah yang dibutuhkan dalam menerapkan nalar hukum. Apabila dilihat dari 6 (enam) langkah yang telah diuraikan sebelumnya, maka kemungkinan langkah-langkah tersebut telah diterapkan pula dalam kasus di Surokonto Wetan sangatlah mungkin. Sebab, bagaimanapun seorang aparat penegak hukum sejak semula tidak diperkenankan untuk menolak sebuah laporan dari warga masyarakatnya terkait kasus/perbuatan hukum pidana/tindak pidana tertentu yang dilakukan oleh seseorang. Siapapun pelapornya, tentu aparat hukum berkewajiban untuk melakukan tindakan yang diperlukan termasuk menyelidiki dan menyidik kasus pengorganisasian dan pemufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar (sebagaimana dituduhkan) pada lahan seluas 127 hektar di tanah garapan warga desa yang sudah bertahun-tahun lamanya itu hidup dan bergantung dari hasil pertanian di lahan tersebut. Tinggal bagaimana kita mengurainya satu persatu kini:

1. Adakah fakta-fakta yang cukup kuat untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini sebagai kasus yang riil terjadi? Dalam hal ini kasus pengorganisasian dan pemufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar. Adakah kenyataan faktual yang dapat membenarkan bahwa seorang Nur Aziz yang seorang tokoh masyarakat dan tokoh agama, atau Mujiyono yang terbilang pendiam dan sangat menghindari adanya konflik atau bahkan Sutrisno Rusmin yang usianya terbilang tidak lagi muda mampu melakukan hal-hal sebagaimana dituduhkan? Kalaupun pada kenyataannya kemudian ditemukan bukti berupa surat menyurat dalam perihal atau dengan maksud surat yang isinya kurang lebih mempertanyakan status tanah yang sedang menjadi sengketa kepada instansi-instansi terkait, dan kemudian ditandatangani oleh perwakilan warga—yang kebetulan, Nur Aziz berkenan diamanati sebagai ketuanya, Mujiyono sebagai bendaharanya dan Sutrisno Rusmin sebagai sekretarisnya—nalar hukum sekalipun bisa saja mengatakan bahwa hal tersebut tentu sah-sah saja dan sungguh dijamin oleh sebuah konstitusi UUD NRI 1945 yang memberikan kedaulatan bagi warga negara untuk dapat berpendapat, menyatakan pikiran, juga berserikat, berkumpul atau bahkan berorganisasi sekalipun. Pertanyaannya, nalar hukum apa yang pada saat penetapan tersebut dilakukan itu dipakai oleh para aparat penegak hukum tersebut?

2. Selanjutnya, berkaitan dengan langkah-langkah berupa menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term), menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren, sekaligus menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus. Dalam hal ini, Saudaraku sekalian. Pertanyaannya sederhana saja: sudahkah para aparat penegak hukum membaca dan memahami secara seksama semangat dari dasar hukum yang digunakan dalam membawa struktur kasus itu dalam struktur hukum yang ada? Tentu saja jawabannya bisa menjadi bernada sangat sinis karena kalaupun aparat penegak hukum telah sepakat bahwa kasus ini akan dibawa pada struktur hukum (rezim) hukum kehutanan, bukankah seharusnya para penegak hukum ini tahu kalau justru yang wajib dilindungi secara penuh oleh hukum adalah mereka yang kehidupannya, baik pangan, sandang maupun papan bergantung pada hasil hutan baik mereka yang berada di dalam maupun yang di sekitar kawasan tersebut? Dalam hal ini, silakan cermati beberapa ketentuan pasal yang terdapat dalam UU P3H dan kalau perlu silakan cari anotasi yang berkaitan dengan persoalan ini untuk semakin meyakini bahwa UU P3H justru memiliki semangat dalam menangkal perbuatan-perbuatan rakus korporasi yang hanya mementingkan urusan komersial di atas segalanya. Itu—dengan catatan—kalau mereka semua sudah meyakini betul bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan hutan
 Padahal, ada struktur hukum lain yang juga masih dipermasalahkan dan belum clean and clear sifatnya terkait penunjukan hingga penetapan lahan tersebut, Saudara-Saudara! *Maaf untuk Ibunda selaku pemimpin tinggi rakyat Kendal, istilah itu bukan hanya ada di merek pembersih muka saja, Ibu.

3. Terakhir, dalam pencarian alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin dan dalam menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir. Untuk yang satu ini, tentu kita masih sama-sama sedang mencari penyelesaian terbaiknya. Namun, apakah dengan menjerat para warga desa ini dengan pemidanaan adalah benar-benar merupakan alternatif terakhir sesuai dengan sifat hukum pidana yang katanya obat terakhir itu? Tidak adakah obat lain yang bisa dipreskripsikan dan ditawarkan selain dengan lagi-lagi pemidanaan para petani? Astaga, sudah separah dan semembahayakan itukah para pihak yang ditersangkakan ini hingga kemudian dengan segenap alternatif pilihan yang mungkin hanya ada satu pilihan dengan jalan pemidanaan? Sungguh terlalu!

No comments: